Gn. Batukaru – Malam Puisi Spesial Tahun Baru


batukaru-01

“Tahun Baru mau kemana?”
“Pengennya sih mendaki gunung.”
“Gimana kalau Malam Puisi sekalian di puncak gunung”
“Seru tuh!”

Obrolan di acara Ulang Tahun Bali Blogger Community bareng Adit dan Vifick pun berlanjut. Bagi yang belum tahu, Malam Puisi adalah sebuah gerakan yang bertujuan menyediakan ruang bagi pecinta puisi; baik itu pendengar, penulis, maupun pembaca puisi yang ingin menyuarakan karyanya di depan orang banyak. Lebih lengkapnya bisa kunjungi web maupun twitter.

Setelah menimbang dan tertarik melihat foto-foto di puncak gunung, dari sekian banyak gunung di Bali, maka gunung Batukaru yang kami sepakati untuk didaki di penghujung tahun 2013. Delapan orang terakhir yang kemudian ikut adalah Alex, Andri, Chisa, Lugu, Njong, Vifick, Prima, dan Adit dari Malam Puisi.

batukaru-02

Dari pengalaman MountaineeFive tahun lalu, gunung Batukaru adalah salah satu yang cukup menantang. Naik dari Desa Pujungan, jalur pendakian sudah menanjak dari awal. Ditambah lagi, cuaca di sana yang sering hujan. Berangkat dari Denpasar dengan mengendarai motor sekitar pukul 10 pagi dengan cuaca masih cerah. Saya sempat gembira ketika sampai di kaki gunung sekitar jam 12 siang, terik matahari masih cukup menyengat. Tapi tetap, saya tidak berharap banyak bakal sampai di puncak tanpa setetes pun hujan turun.

Sebelumnya, kami sudah melapor ke Bendesa adat untuk melakukan pendakian. Setelah membeli beberapa bahan makanan dan melakukan pemanasan di pintu masuk, kami langsung naik sekitar jam 1 siang menuju ketinggian 2.276 mdpl. Sekitar satu jam perjalanan naik, suara gemuruh guntur seakan tidak peduli nafas tersengal-sengal kami, malah memaksa kaki lebih cepat melangkah. Air menyerbu di ketinggian lebih dari 1700 mdpl. Sambil menghela nafas, kami memakai jas hujan yang sudah kami persiapkan. Beberapa dari kami yang belum terbiasa mendaki mulai kelelahan. Kebersamaan adalah hal penting dalam pendakian. Satu orang berhenti, kami semua berhenti. Sambil menjaga suhu badan agar tetap hangat, waktu istirahat diusahakan tidak hanya diam.

batukaru-03

Hujan dan lelah belum cukup membuat kami patah semangat. Satu hal lagi yang melengkapi; kegelapan. Membuat kami sampai di atas lebih lama 3 jam dari perkiraan. Sampai di puncak, setelah istirahat di pondok/bale yang ternyata sebagian sudah ditempati beberapa orang yang juga menginap terlebih dahulu. Kami membangun tenda dalam keadaan masih hujan. Cukup sulit, namun lumayan, dua tenda bisa berdiri bersebelahan. Beberapa dari kami kemudian memasak makanan seadanya, lalu makan bersama di satu tenda.

batukaru-11

batukaru-12

Setelah makan, masih ada acara utama; baca puisi. Ya, kami harus tetap membaca puisi meski di dalam tenda karena cuaca di luar tidak mengijinkan. Tanpa disaksikan bintang, Adit yang menjadi host Malam Puisi mulai membacakan puisinya dari smartphone. Buku puisi yang sengaja dibawa telah basah karena hujan dan tidak mungkin untuk memaksakan diri membacanya. Setelah Adit, kemudian giliran Prima membaca puisi berjudul “Malam Aneh”. Selanjutnya Vifick pun beraklamasi, beberapa bait yang dibacakan dari hati yang terdalam. Kemudian, saya juga membaca satu puisi setelah sekian lama hanya jadi penikmat. Sebenarnya, Njong juga baca puisi berjudul “Sinar”. Videonya bisa kalian lihat disini.

Acara selesai, kami lekas beranjak tidur. Saya berusaha keras untuk tidur nyenyak dengan membungkus kaki dengan tas plastik karena sleeping bag basah akibat lupa membungkusnya dengan plastik saat dimasukkan ke ransel. Kadang, hal-hal fatal seperti ini memang terjadi. Hujan lebat yang mengguyur ternyata berhasil membuat air merembes masuk melalui lapisan tenda. Kaki saya kembali basah, sepertinya saya memang tidak boleh tidur. Ternyata teman-teman di tenda sebelah juga ada yang tidak tidur karena air juga merembes masuk.

Hujan tidak kunjung berhenti hingga pagi tanpa panas matahari. Saya harus keluar karena sudah sakau kopi. Teman-teman lain baru menyusul setelah kopi siap tersaji. Cuaca tak kunjung membaik, kami memasak beberapa bekal makanan sambil tetap bergerak agar tidak kedinginan. Setelah makan, mau tidak mau kami harus melipat tenda dan segera turun karena hari sudah siang.

Turun dalam keadaan hujan lebih sulit dibandingkan naik. Jalan tanah yang licin cukup menghambat, karena harus hati-hati agar tidak terpeleset. Tapi sepandai-pandai manusia melangkah, akhirnya terpeleset juga. Kaki yang menahan berat tubuh dan ransel di jalan menurun cepat sekali lelah. Kali ini, kami terbagi jadi 3 kelompok karena perbedaan kecepatan, barang bawaan, dan daya tahan. Dua kelompok pertama telah jauh duluan. Adit, Prima, saya dan Andri berada paling belakang dengan membawa tenda. Beberapa dari kami bahkan mengalami kram karena salah tumpuan. Berjalan makin lambat, sampai akhirnya kegelapan kembali datang. Senter kembali digunakan. Satu dipegang Adit untuk mencari jalan dan menerangi Prima di belakangnya. Satu dipakai Andri yang paling belakang untuk juga menerangi saya. Iya, hanya ada 2 senter untuk kami berempat. Sebenarnya ada 2 senter lagi yang kecil dan tidak cukup terang jadi tak layak hitung.

Singkat cerita, dengan susah payah, bahkan salah satu dari kami jatuh bangun berkali-kali dan tetap semangat tanpa mau merepotkan yang lain, kami tiba menyusul keempat teman yang sudah sampai lebih dulu. Lega, meski perjalanan belum selesai. Kaki-kaki yang lelah masih harus dipakai menginjak perseneling dan rem motor turun dari Desa. Kembali ke Kota, dan mewujudkan mimpi kami sejak jalan turun; sate kambing.

Pendakian kali ini adalah yang paling metal dan seru selama saya mendaki gunung di Bali. Tidak ada kata menyerah atau kapok. Alam memang tidak bisa kamu taklukkan, tapi setidaknya kamu bisa menyatu dengannya, mendapat pelajaran paling berharga.

batukaru-05

batukaru-06

batukaru-07

batukaru-08

batukaru-09

batukaru-10

Foto-foto keren kami diambil oleh Vifick Bolang, lihat lainnya di sini

About Lugu Gumilar

Designer and Illustrator who likes coffee, night, nature, and dream a lot.