Subaya 24/12/2007, langit mendung menggelayuti langit Subaya di Senin pagi kemarin yang dingin. Kesibukan terlihat di rumah mungil Mas Ipung yang berada di tepi lembah pagi itu, beberapa tukang yang juga penduduk setemat terlihat bergegas membantu mempersiapkan sebuah bangunan suci di pelataran samping rumah. Kali ini rumah itu diramaikan beberapa orang yang tampak asing bagi saya, yang ternyata mereka adalah keluarga dekat dari sang pemilik rumah. Sebagian dari mereka mengenakan pakaian adat Bali, dibantu oleh ibu-ibu penduduk sekitar mereka sibuk mempersiapkan sebuah upacara. Ya, pagi itu adalah awal dari hari yang dianggap hari paling baik untuk melakukan sebuah upacara yang disebut Melaspas.
Seperti yang pernah diceritakan Mas Sidhar (komandan) bahwa di rumah itu akan dibangun beberapa bangunan suci untuk persembahyangan si empunya rumah beserta keluarga, hari itu tampak dua bangunan baru yang sudah berdiri di sana. Satu bangunan pura kecil/sanggah berdiri di samping kiri depan rumah yang disebut Penunggu Karang dan satu lagi yang berukuran lebih besar berada di pelataran kiri rumah, bangunan ini bernama Padma Sari, sebelumnya lokasi ini adalah semak belukar yang kurang terawat.
Pagi-pagi aku dan Yudi Pacul (thanks to Komandan yg bangunin aku subuh2 via telpon) berangkat dari Denpasar jam 8 pagi naek si black orange Vega R yang selalu setia dengan semua travellingku, cuaca mendung dan udara yang dingin menemani selama perjalanan. Sesuai rencana, kita diundang untuk menghadiri acara melaspas dua bangunan itu dan hadir untuk membantu persiapan acara itu. Setibanya di lokasi rumah Mas ipung di Desa Subaya, kita sempet say hello dulu sama keluarga yang ada dan penduduk. Setelah itu langsung turun lapangan bantu-bantu sedikit. Mas Ipung pagi itu terlihat ganteng, bersih, dan sedikit “lebih kalem” dari biasanya. Seperti biasa pipa rokok selalu ngebul di jemarinya, cuma bedanya kali ini dia agak jauh dari sloki air cerdas. Hehe…
Persiapan upacaraJam 10.00 Wita, Komandan Sidhar tiba menyusul di lokasi menggunakan sebuah pick up bersama seorang Mangku bernama Mangku Ngurah Ar. Langsung saja kita turun membantu persiapan seperti menghias kedua bangunan pura, aku ikut-ikutan didandani layaknya orang Bali pake udeng dan selendang (plus anting2 untuk aksesori tambahan – hehe). Setelah persiapan wardrobe bangunan selesai di bawah gerimisnya Subaya, aku dan Pacul menemani Komandan Sidhar dan Mangku Mossel (salah seorang mangku desa) menjemput sesajen di sebuah rumah kecil dekat desa, naek pick up. Ternyata banyak juga jenis sesajen yang dipersiapkan, dari bahan sampai bentuknya beraneka ragam.
Kembali ke rumah, suasana persiapan upacara mulai meningkat tingkat kesibukannya. Diselingi canda tawa kami semua bergotong royong hingga dimulainya upacara melaspas. Upacara itu dipimpin oleh Mangku Talok, salah seorang mangku desa setempat yang bertugas memimpin setiap upacara yang diadakan oleh keluarga-keluarga penduduk seperti melaspas salah satunya. Mangku Talok yang setengah baya terlihat khusyuk membaca doa-doa dan melakukan persembahan-persembahan dari semua sesajen yang ada. Setiap keranjang sesajen yang berisi bermacam-macam sajen memiliki prosesi sendiri-sendiri. Mulai dari doa dan arah duduk sang Mangku yang sesuai arah mata angin semuanya berbeda dari setiap prosesinya dan peruntukannya. Kami semua mengikuti upacara tersebut dari awal hingga akhir dengan khidmat diselingi gerimis sesekali dan puncak upacara sempat diramaikan dengan bau menyan menyengat dan angin ribut yang menderu-deru, meniup keras semua dedaunan dan menghadirkan suasana mistis yang sempat membuat bulu kuduk ini merinding disko.
Upacara selanjutnya dipimpin oleh Mangku Ngurah Ar, berikutnya adalah prosesi upacara semacam ruwatan. Dengan sejajen yang tidak sebanyak prosesi lainnya, Mangku Ngurah Ar mendatangkan suasana lebih mistis dari sebelumnya. Dengan Tirta Suci dari Semeru dan Blambangan, beliau meruwat keluarga besar Mas Ipung, membersihkan ‘lingkungan’ mereka, dan yang seru – menghadirkan beberapa roh leluhur keluarga Mas Ipung. Percaya ga percaya tapi itu semua terjadi di depan mataku kemaren….and it was real dude!
Upacara besar itu berjalan dengan lancar. Beberapa perangkat desa yang kita kenal juga hadir di sana seperti Pak Mekel (kita biasa menyebutnya Pak Michael), Budi sang sekretaris desa, dan beberapa bapak-bapak lainnya yang hadir dengan pakaian-pakaian safari plus udeng. Semua yang hadir tampak rukun, kebersamaan begitu terasa sepanjang hari itu. Tidak ada perbedaan yang menjadi sesuatu yang berarti walau beberapa yang hadir di sana bukanlah berlatar belakang suku dan agama yang sama, termasuk saya. But, still differences is not a big thing to concern for one good purpose actually…
ProsesiBerbaur di antara penduduk desa, keluarga besar Mas Ipung, dan suasana upacara Hindu menjadi suatu pengalaman yang unik. Well, pengalaman yang baru buat aku pribadi. Semoga ini mejadi inspirasi buat kita semua dalam menjaga keharmonisan dalam hidup bermasyarakat, dan…perbedaan bukanlah hal yang patut dijadikan sebuah halangan dalam berbuat, anyhting as long as it good for people and us – why not? Semoga upacara ini akan membawa berkah bagi Mas Ipung sekeluarga, didekatkan semua sanak familynya, dan menjadi suatu awal yang lebih baik bagi kehidupan Mas Ipung sendiri. Amin….