Antara Bisnis dan Kepentingan Hukum
Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan cukup luas. Hampir 90 persen hutan di dunia dimiliki secara kolektif oleh Indonesia dan 44 negara lain. Bahkan, negeri ini juga disebut sebagai paru-paru dunia. Sayang, aset negara tersebut dirusak oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab melalui aksi pembalakan liar.
Gambar diambil dari papua
PEMERINTAH pernah mengklaim, sampai dengan 2005, memiliki kawasan hutan 126,8 juta hektare dengan berbagai pembagian fungsi. Yaitu, fungsi konservasi (23,2 juta hektare), kawasan lindung (32,4 juta hektare), hutan produksi terbatas (21,6 juta hektare), hutan produksi (35,6 juta hektare), dan hutan produksi konversi (14,0 juta hektare).
Namun, beberapa waktu lalu, organisasi lingkungan dunia Green Peace menyebutkan, 72 % hutan Indonesia musnah. Kemudian, setengah wilayah hutan yang masih ada dalam kondisi terancam karena penebangan komersial, kebakaran hutan, dan pembukaan hutan untuk kebun kelapa sawit. Karena tingkat kerusakan yang begitu tinggi, Green Peace pernah mengusulkan penghargaan rekor dunia sebagai negara penghancur hutan tercepat.
Sementara itu, Departemen Kehutanan memperkirakan jumlah lahan hutan di seluruh Indonesia yang rusak akibat penjarahan mencapai 2,8 juta hektare per tahun. Hingga kini sudah mencapai 60 juta hektare. Kerugian yang diderita negara pun tidak sedikit, mencapai Rp 40 triliun-50 triliun per tahun.
Kehancuran hutan atau deforestasi yang terjadi di Indonesia, menurut Green Peace, disebabkan tiga hal utama. Yakni, illegal logging, legal logging, dan kebakaran hutan. “Selain pembalakan liar, hancurnya hutan disebabkan penebangan yang mendapat izin pemerintah melalui HPH (Hak Pengelolaan Hutan) dan HTI (Hutan Tanaman Industri),” ujar Hapsoro, juru kampanye hutan Green Peace Indonesia.
Perang terhadap praktik-praktik pembalakan liar sebenarnya telah digaungkan pemerintah. Pendukungnya adalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Pemberdayaannya di Seluruh Wilayah RI. Namun, praktik-praktik ilegal tersebut ternyata masih terjadi.
Modus yang digunakan kian beragam. Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Rhino Subagjo, modus pembalakan liar senantiasa berkembang. “Praktiknya selalu menyesuaikan diri, bahkan cenderung makin sistematis,” ujar Rhino.
Saat ini, lanjutnya, setidaknya terdapat tiga modus yang tengah berkembang. Pertama, menggunakan surat izin yang tidak sesuai dengan isi yang tertera dalam surat izin. “Misalnya, izin HTI (Hutan Tanaman Industri) yang seharusnya hanya untuk semak belukar, namun digunakan di hutan lindung,” jelasnya.
Kedua adalah sistem lelang. Dengan cara tersebut, oknum-oknum pembalak liar berusaha melegalkan kayu-kayu yang sebenarnya ilegal. Sedangkan ketiga, memanfaatkan masyarakat untuk melakukan pembakaran hutan.
Praktik-praktik ilegal sebenarnya tidak mungkin terjadi jika tidak ada yang memfasilitasi. Tanpa adanya pihak lain yang membuka jalan atau membiarkan terjadinya penebangan liar, mustahil aksi tersebut berjalan. Pihak lain itulah yang memberikan izin untuk melegalkan sesuatu. Di sinilah ditengarai adanya keterlibatan oknum pejabat, bahkan aparat, yang seharusnya melakukan pengawasan.
Sumber : Jawa Pos